Belajar mencintai dan dicintai

Bookmark and Share
Seorang suami bercerita kepada saya, bahwa dalam usia pernikahannya yang memasuki tahun ketiga, ia tak juga merasa semakin mengenal istrinya. Masih sekian banyak hal-hal asing dan bahkan aneh yang ia temukan pada diri seorang makhluk "halus" bernama istrinya itu. Siapakah dirimu wahai istriku? Demikian ia sering bertanya dalam hati.

Seorang perempuan yang tiba-tiba menangis tanpa sebab-sebab yang bisa diterima akal laki-laki. Seorang perempuan yang tiba-tiba ngambek hanya karena urusan kecil menurut ukuran laki-laki. Sesekali sedemikian manja dan amat ceria, pada kesempatan lain tampak begitu keras. Sesekali tampak cerdas dan pintar dalam berargumentasi, sesekali tampak sedemikian emosional dan logikanya tidak jalan.

Dunia laki-laki sering mengajarkan pola hidup rasional, argumentative, cenderung mengeliminir unsur perasaan dan dalam banyak hal : kaku. Ia lebih bisa memahami mengapa seseorang berkelahi, daripada mengapa ada orang yang menangis dalam menyelesaikan masalah. Ia lebih bisa menerima seseorang yang berdebat dalam mempertahankan keinginannya daripada seseorang yang diam membisu dalam mengekspresikan keinginannya. Ia lebih mudah mengerti jawaban "iya" dan "tidak" daripada bahasa perasaan yang mengalir tanpa kejelasan.

Tapi sedemikian pulalah yang dihadapi oleh sang istri. Seorang akhwat muslimah, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan laki-laki di masa lajangnya. Tiba-tiba ia merasa ada " raksasa yang memperkosa" banyak rahasia dirinya. Sehelai rambut yang sempat menyembul keluar dari balik kerudung rapinya saja sudah cukup membuat ia malu dan merah padam wajahnya di depan laki-laki. Kini semua rambutnya berjurai lepas di dalam rumah, di hadapan seorang ikhwan. Ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan suami. Ia mulai mengenal dunia laki-laki secara sangat dekat tanpa jarak. Ia mulai berinteraksi dengan benda-benda perlengkapan laki-laki yang dulu tak pernah terjamah olehnya. Bahasa-bahasa dakwah yang kental dan bahkan amat pekat selama ini, telah mencetak sebuah kepribadian aktivis yang berbahasa lugas dan tak pandai juga tak terbiasa "berbunga-bunga" dalam berbahasa. Kini harus ada evolusi kultural, sejak dari penampilan, berparhum didepan suami, bersolek wajah, merajuk, merayu, bersikap manja dan membahasakan cinta secara berbunga-bunga. Kesemuanya itu tidak pernah ada pelajarannya. Tidak pernah ada materi pembinaannya. Tiba-tiba harus bisa, dalam waktu sekejap saja.

Kita dibuat tidak secara pandai dan argumentatif memahami dunia pasangan kita, kecuali melalui pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa "aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan" dan mestinya "engkau mengerti keinginanku". Tetapi proses pembahasaan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakekat perasaan, sebab diksi tak selalu mampu menuturkan kata hati secra jeli dan teliti.

Cinta bisa saja menimbulkan prasangka, justru karena ingin mengekalkan kecintaan itu. Sebagaimana saling percaya harus tumbuh diatas benih2 kesuburan cinta dan kasih saying suami istri secara timbal balik. Tak pelak keikhlasan harus memancar serta secara tulus menerima apa adanya pasangan hidup masing2.

Untuk bisa mencintai dan merasakan dicintai, diperlukan pengenalan, sebagaimana kata orang bijak tak kenal maka tak sayang. Maka belajarlah untuk mengenali pasangan hidup masing2.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar